Ilmu sidik jari mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Ilmu sidik jari pada awalnya adalah untuk mengidentifikasi seseorang karena sidik jari tiap manusia berbeda (unik). Ilmu mengidentifikasi seseorang melalui sidik jari disebut DAKTILISKOPI. Ilmu ini kemudian digunakan untuk keperluan forensik kriminal di kepolisian.
Ilmu sidik jari kemudian berkembang setelah Dr.Harold Cummins memperkenalkan DERMATOGLYPHICS. Dermatoglyphics berasal dari bahasa yunani Derma berarti kulit dan Glyph; berarti ukiran. Ilmu ini mendasarkan pada teori epidermal atau garis-garisan pada permukaan kulit. Dermatoglyphics mempunyai dasar ilmu pengetahuan yang kuat karena didukung oleh penelitian, ilmu ini meyakini bahwa sidik jari adalah “cetak biru” seseorang.
Para peneliti menemukan bahwa pola garis pada sidik jari seseorang, memiliki hubungan yang bersifat ilmiah dengan kode genetik dari sel otak dan potensi kecerdasan seseorang. Penelitian dimulai oleh Govard Bidloo pada tahun 1865, J.C.A Mayer (1788), John E Purkinje (1823), Noel Jaquin (1958). Beryl Hutchinson tahun 1967 menulis buku berjudul Your Life in Your Hands, sebuah buku tentang analisis tangan. Terakhir, berdasarkan hasil penelitian Baverly C Jaegers (1974), tersimpulkan bahwa sidik jari dapat mencerminkan karakteristik dan aspek psikologis seseorang.
Pola sidik jari manusia sangat unik dan di pengaruhi oleh proses pembentukannya secara genetik. Menurut Al Gaan, praktisi fingerprint, sidik jari manusia tidak akan pernah berubah dan berhubungan erat dengan perkembangan sistem syaraf. Pembentukan sidik jari dimulai sejak janin berusia 13 minggu, bersamaan dengan pembentukan sel otak. Prosesnya akan sempurna pada minggu ke-24. Sidik jari manusia tidak pernah berubah dan tidak bisa dibohongi.
Saat ini juga telah berkembang metode analisa sidik jari untuk mengungkap tipe kecerdasan dan personaliti seseorang. metode ini menghubungkan Ilmu Dermatoglyphics, Neuroscience (otak) dan Psikologi (perilaku). Ilmu ini berkembang melalu riset yang diambil dari ratusan ribu sample sidik jari yang kemudian dapat diketahui bahwa pola-pola sidik jari menyatakan hubungan dengan perilaku tertentu. Dari analisa sidik jari juga dapat kelainan-kelainan bahkan kesehatan seseorang.
Berikut adalah rangkuman riset-riset yang telah dilakukan untuk meneliti korelasi antara sidik jari dan otak terutama dalam kaitannya dengan kecerdasan.
1. Hasil Riset independen pakar psikometrik dan personaliti Prof.Dr.M Zin Nordin (pakar psikometrik), DR. Mohd.Suhaimi Mohammad (pakar personaliti) dan DR Wan Shahrazad Wan Sulaiman menyimpulkan bahwa dalam pengujian inventori menunjukan reliabilitas yang BAIK dan TINGGI dengan koefisien alfa 0,849 dan 2. Didapati korelasi yang signifikan antara hasil test dengan alat test lain (simulasi aktivitas permainan tundra) menggunakan uji statistik khi kuadrat.
2. Penelitian oleh ilmuwan China, Liu Hongzhen, bisa dibaca di http://en.cnki.com.cn/Article_en/CJFDTOTAL-ZGTY199902008.htm
3. Menurut Dr Syailendra WS. SpKJ, Pola sidik jari terbentuk sejak janin dalam kandungan usia 13 minggu – 19 minggu. Pola sidik jari juga bersifat herediter (diturunkan) dari orang tuanya. Pola sidik jari dipengaruhi oleh DNA seseorang.
Pada th 1986, telah dilakukan penelitian oleh Dr. Rita Levi Montalcini dan Dr Stanley Cohen, tentang adanya korelasi antara Nerve Growth Factor (NGF) dan Epidermal Growth Factor (EGF). Pada penelitian ini ditemukan korelasi antara pola garis epidermal kulit, dengan sistem pertumbuhan saraf yang menunjukkan terdapatnya hubungan pola sidik jari dan otak. Atas penemuan ini, mereka diganjar penghargaan nobel.
Menurut para ahli, sistem saraf pusat itu terhubungkan dengan bagian-bagian dari otak. Dan otak merupakan pusat semua aktifitas fisik dan mental seseorang. Setiap bagian bagian otak, pada area pre frontal, frontal, occipital, parietal dan temporal mempunyai fungsi-fungsi yang berbeda dan kekuatan (dominansi) yg berbeda pula. Sehingga logis bila pola-pola sidik jari sesorang itu, bisa memanifestasikan kerja dari bagian-bagian otak tersebut.
Namun tentu analisa sidik jari hanya terbatas mengetahui potensi, bakat, kepribadian dasarnya sedangkan pengaruh lingkungan dan pendidikan juga akan menentukan karakter seseorang. Paling tidak dengan mengetahui bakatnya, kita dapat mengarahkan secara lebih baik agar maksimal dalam pencapaian tujuan. Sebagai contoh, seseorang yang memiliki bakat seni tentu akan lebih baik jika diarahkan ke seni daripada diarahkan menjadi ilmuwan karena tentunya dari segi biaya, usaha akan lebih efektif dan efisien.
4. Zhai Guijun, dalam makalahnya Report on Study of Multivariate Intelligence Measurement through Dermatoglyphic Identification, Beijing Oriental KeAo Human Intelligence Potential Research Institute Zhengzhou DongFangZhou Intelligence Measurement & Consultation Research Center Wuhan University Oriental Intelligence Research & Test Center, yang dipublikasi pada 15 april 2006.
Berikut kutipan pernyataan yang dibuat oleh Zhai Guijun dalam makalahnya :
I started to study the correlation of dermatoglyph (fingerprints) and human intelligence in
1988. Through 19-year continuous efforts, I have established a preliminary systematic method for intelligence measurement through Dermatoglyphic identification. I have successively made study, measurement and sampling of over 40 thousand people in 25 regions of China, and gradually improved the practice and theory of Multivariate Intelligence Measurement through Dermatoglyphic Identification, as well as made it highly reliable and effective.
The method of Multivariate Intelligence Measurement through Dermatoglyphic Identification passed the Science and Technology Achievement Appraisal (YKYCZ9212) by Henan Academy of Sciences on October 4, 1992, and also passed the demonstration jointly presided by the Genetics Society of China, the Working Committee for Popular Science Activities under China Psychological Society, and the Working Committee for Health Care of Women and Children under China International Exchange and Promotive Association for Medical and Health Care (CPAM) on April 15, 2006.
Zhai Guijun mengemukakan bahwa dengan memanfaatkan sidik jari dalam penelitian ini hasil yang ia peroleh relatif konsisten dengan angka reliabilitas 0.798, 0.725, 0.840, dan 0.381 dengan melakukan pengukuran pada anak-anak sekolah dasar. Validitasnya adalah 0.995.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini :
The study on multivariate intelligence measurement through dermatoglyphic identification (finger print) makes physiological and physical measurement of human intelligence possible.It is most likely an easily workable and accurate intelligence measurement before people can make precise determination of human intelligence from gene level.
It is possible to become the latest generation of intelligence measurement methods in succession to “Assessment Scale”. Multivariate intelligence measurement through dermatoglyphic identification is capable to accurately identify the intelligence difference and personality difference of individuals. Therefore it may be used by schools or institutions in making appropriate selection of different talents. Dermatoglyph is the external existence of human genes and brains, and may also be considered as a representation of DNA sequence.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa berdasarkan penelitian yang dilakukan Zhai Guijun, finger print analysis dapat dijadikan sebagai salah satu metode untuk mengukur potensi yang dimiliki oleh individu. Paper risetnya bisa dibaca di http://www.zdzw.com/html/yulw.htm
5. Ilmuwan Rusia meneliti sidik jari dan kaitannya dengan memilih profesi/pekerjaan, bisa dibaca http://strf.ru/science.aspx?CatalogId=222&d_no=21114
6. Publikasi ilmiah kaitan sidik jari dan otak sehingga berpengaruh pada perilaku. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10097430
7. Menurut Sunday Times, ilmuwan beberapa dari Barcelona University mempelajari sidik jari ratusan siswa dan menyimpulkan bahwa sidik jari mencerminkan kecerdasan. Secara intelektual orang cacat biasanya memiliki sidik jari yang secara substansial berbeda dengan orang normal.
Ilmuwan menemukan bahwa di antara ratusan siswa belajar, anak-anak cacat intelektual memiliki sidik jari yang memiliki lengkungan lebih dan pola melingkar. Selain itu, cetakan sawit mereka memiliki pola yang lebih normal daripada rekan-rekan normal mereka. Para ilmuwan berkomentar bahwa bubungan Simian ditemukan di telapak yang paling berhubungan dengan kecerdasan seseorang.
8. Thesis mengenai kaitan sidik jari dengan kelainan perilaku dari Prof.Thomas Fogle dari biology department at Saint’s Mary’s College, Notre Dame, Indiana, the United States berjudul Using Dermatoglyphics From Down Syndrome And Class Populations To Study The Genetics Of A Complex Trait.
Berikut ini sejarah perkembangan ilmu dermatoglyphics :
1684, Dr. Nehemiah Grew (1641-1712) presented Finger Prints, Palms and Soles An Introduction To Dermatoglyphics to the Royal Society
1685, Dr.Bidloo published an anatomical atlas, Anatomia Humani Corporis, with illustrations showing the human figure both in living attitudes and as dissected cadavers
1686, Dr. Marcello Malphigi (1628-1694) noted in his treatise; ridges, spirals and loops in fingerprints
1788, J.C.Mayer was the first to write out basic tenets of fingerprint analysis and theorized that fingerprints were unique
1823, Dr. Jan Purkinje classified the papillary lines on the fingertips into nine types: arch, tented arch, ulna loop, radial loop, peacock’s eye/compound, spiral whorl, elliptical whorl, circular whorl, and double loop/composite.
1823, Joannes Evangelista Purkinji found that the patterns on one’s finger tips and the ridges and lines on one’s prints begin to form at around the thirteenth week in the womb.
1832, Dr. Charles Bell (1774-1842) was one of the first physicians to combine the scientific study of neuro-anatomy with clinical practice. He published The Hand: Its Mechanism and Vital Endowments as Evincing Design.
1893, Dr. Francis Galton published his book, “Fingerprints”, establishing the individuality and permanence of fingerprints. The book included the first classification system for fingerprints: Arch, Loop and Whorl.
1897,Harris Hawthorne Wilder was the first American to study Dermatoglyphics. He invented the Main Line Index, studied thenar hypothenar eminencies, zones II, III, IV.
1926,Dr. Harold Cummins & Dr. Charles Midlo coined the term “Dermatoglyphics”. They showed that the hand contained significant Dermatoglyphics configurations that would assist the identification of mongolism in the new-born child.
1936,Dr. Harold Cummins & Dr. Charles Midlo also researched the embryo-genesis of skin ridge patterns and established that the fingerprint patterns actually develop in the womb and are fully formed by the fourth foetal month.
1944, Dr Julius Spier Psycho-Analytic Chirologist published “The Hands of Children” he made several significant discoveries especially in the area of psycho-sexual development and the diagnosis of imbalances and problems in this area from the patterns of the hands.
1957, Dr.Walker used the dermal configurations in the diagnosis of mongolism
1968, Sarah Holt, whose own work ‘The Genetics of Dermal Ridges’ published in 1968, summarizes her research in of dermatoglyphics patterns of both the fingers and the palm in various peoples, both normal and congenitally afflicted.
1969, John J. Mulvihill, MD and David W. Smith, MD published The Genesis of Dermatoglyphics that provides the most up to date version of how fingerprints form.
1970, USSR,Former Soviet Union. Using Dermatoglyphics in selecting the contestant for Olympics.
1976, Schaumann and Alter’s ‘Dermatoglyphics in Medical Disorders’ published.Significant investigations have also been carried out into the dermatoglyphics indicators of congenital heart disease, leukaemia, cancer, rubella embryopathy, Alzheimer’s disease, schizophrenia etc.Dermatoglyphics research being directed into genetic research and the diagnosis of chromosomal defects.
1980, China carry out researching work of human potential, intelligence and talents in dermatoglyphics and human genome perspective.
1985, Dr. Chen Yi Mou Phd. of Havard University research Dermatoglyphics based on Multiple Intelligence theory of Dr. Howard Gardner. First apply dermatoglyphics to educational fields and brain physiology.
2000, Dr Stowens, Chief of Pathology at St Luke’s hospital in New York, claims to be able to diagnose schizophrenia and leukaemia with up to a 90% accuracy. In Germany, Dr Alexander Rodewald reports he can pinpoint many congenital abnormalities with a 90% accuracy.
2004, IBMBS- International Behavioral & Medical Biometrics Society. Over 7000 report and thesis published. Nowadays the U.S., Japan or China, Taiwan apply dermatoglyphics to educational fields, expecting to improve teaching qualities and raising learning efficiency by knowing various learning styles.